Rabu, 25 Mei 2016

stratifikasi gender dalam kelompok



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
      Hal pertama yang biasanya ditanyakan oleh orang tua saat kelahiran anaknya adalah apakah anaknya itu “laki-laki ataukah perempuan”. Urgensi pertanyaan tersebut membawa dampak yang sangat penting, yakni masyarakat membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Pembagian spesies manusia ke dalam dua kategori fundamental itu didasarkan pada jenis kelamin atau perbedaan biologis. Dalam perkembangannya, masyarakat membedakannya dengan “maskulinitas” dan “feminitas”. Konsep-konsep itu tidak merujuk pada jenis kelamin, tetapi pada gender, perbedaan-perbedaan yang secara kultural dipelajari antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat cenderung mengasumsikan bahwa maskulinitas adalah bagian dari keadaan alamiah manusia atau takdir, sebagaimana perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat mengharapkan pula agar laki-laki dan perempuan memainkan peran-peran jender spesifik, yaitu pola-pola perilaku, kewajiban, yang dianggap pantas untuk masing-masing jenis kelamin. Karena status sosial dari kedua jenis kelamin itu biasanya tidak sama, peran-peran gender inipun cenderung mereflelsikan stratifikasi jenis kelamin yang sudah ada.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan gender?
2.      Bagaimana peran antar gender?
3.      Bagaimana gender dan sosialisasinya?
4.      Bagaimana gender dan stratifikasinya?
5.      Bagaimana gender dan kekuasaannya?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Gender
            Menurut definisi (Giddens, 1989:158), konsep gender menyangkut “the psychological, social and cultural differences between males and females” – perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan. Macionis (1996:240) mendefinisikan gender sebagai “the significance a society attaches to biological categories of female and male” – arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan Lasswell dan Lasswell (1987:51) mendefinisikan gender sebagai “the knowledge and awareness, whether conscious or unconscious, that one belongs to one sex and not to the other” – pada pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar ataupun tidak, bahwa diri seseorang tergolong dalam suatu jenis kelamin tertentu dan bukan dalam jenis kelamin lain.
            Kalau Giddens menekankan pada perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan, maka ahli lain menekankan pada perbedaan yang dikonstruksikan secara sosial (Moore dan Sinclair, 1995), perbedaan budaya, perilaku, kegiatan, sikap (Macionis, 1996), perbedaan perilaku (Horton dan Hunt, 1984:152), atau pada perbedaan pengetahuan dan kesadaran seseorang (Lasswell dan Lasswell).  Dari berbagai perumusan tersebut, kita dapat melihat bahwa konsep gender tidak mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki.  Melainkan pada perbedaan psikologis, sosial dan budaya yang dikaitkan masyarakat antara laki-laki dan perempuan.
Gender adalah konsep yang melihat peran laki-laki dan perempuan dari segi sosial dan budaya, tidak dilihat dari jenis kelaminnya. Sedangkan relasi gender mempersoalkan posisi perempuan dan laki-laki dalam pembagian sumber daya dan tanggung jawab, manfaat, hak-hak, dan kekuasaanya.
2.2  Peran Gender
Sebagaimana telah dibahas dalam point sebelumnya, gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan fungsi, peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan, sebagai hasil konstruksi sosio-kultural yang tumbuh dan disepakati oleh masyarakat melalui proses yang panjang serta bisa berubah dari waktu kewaktu, tempat ke tempat, bahkan dari kelas-kelas sesuai perkembangan zaman.
Peran gender sendiri diartikan sebagai ide-ide kultural yang menentukan harapan harapan pada laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi antara satu dengan lainnya dalam masyarakat (Kessler, 1977 : 73). Berangkat dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa, peran gender akan selalu mengalami perubahan mengikuti perubahan sosial yang dinamis.Misalnya pada masyarakat tradisional. Pembagian kerja pada masyarakat ini dilakukan berdasarkan jenis kelamin. Pekerjaan laki-laki sesuai kapasitasnya sebagai laki-laki, diamana secara umum dikonsepsikan sebagai orang yang memiliki otot lebih kuat, berani dan mampu bekerjasama. Sementara pekerjaan perempuan juga di sesuaikan dengan konsepsinya sebagai makhluk yang lemah, dengan tingkat risiko lebih rendah , lamban dan lain-lain.
Hal tersebut senada dengan hasil penelitian George Peter Murdock. Pada masyarakat tradisional laki-laki konsisten dengan pekerjaan yang bersifat maskulin, seperti: tukang kayu, membuat kapal, tukang batu, mengerjakan logam menambang dan menyamak kulit. Sedangkan perempuan lebih konsisten pada pekerjaan feminim, yaitu: mencari kayu bakar, meramu dan menyediakan minuman dan makanan, mencuci, mengambil air dan memasak (Sanderson, 2003 : 396).
Akan tetapi sebagai akibat dari pertumbuhan dan mobilisasi penduduk, urbanisasi dan revolusi industri yang menimbulkan berbagai perubahan sosial, maka peran dan posisi laki-laki dan perempuan juga ikut berubah.
·         Misalnya seperti Menjadi pemahat batu dianggap tidak pantas dilakukan oleh perempuan, tetapi perempuan di batak sumatera utara biasa menjadi pemahat batu.
·         Di kebanyakan masyarakat petani, bekerja kebun adalah tugas laki-laki; sedangkan di sejumlah masyarakat Papua, kerja kebun merupakan tugas utama perempuan, karena berburu adalah tugas utama laki-laki.
Gender berubah dari waktu ke waktu karena adanya perkembangan yang mempengaruhi nilai-nilai dan norma-norma masyarakat tersebut. Misal:
·         Di Jawa Barat, sudah ada perempuan yang menjadi kepala desa karena meningkatnya pendidikan.
·         Di Sumba, laki-laki membantu-bantu ‘tugas perempuan’ dirumah tangga
2.3  Gender dan Sosialisasi
Sebagaimana dikemukakan oleh Kerstan (1995), gender tidak bersifat biologis melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu, menurutnya, gender dapat berubah. Contoh yang diberikannya: baik laki-laki maupun perempuan dapat bekerja sebagai guru, buruh dan insimyur, dan dapat mengasuh anak dan merawat orang usia lanjut. Proses sosialisasi yang membentuk persepsi diri dan aspirasi semacam ini dalam sosiaologi dinamakan sosialisasi gender(gender socialization). Sebagaimana halnya dalam sosialisasi pada umumnya , maka dalam sosialisasi gender agen penting yang berperan pun terdiri atas keluarga, kelompok bermain, sekolah dan media masa.
Keluarga sebagai Agen Sosialisasi Gender
            Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka sosialisasi genderpun berawal dari keluarga. Keluargalah yang mula-mula mengajarkan seorang anak laki-laki untuk menganut sifat maskulin, dan seorang anak perempuan untuk menganut sifat feminim. Melalui proses pembelajaran gender (gender learning), yaitu proses pembelajaran feminitas dan maskulinitas yang berlangsung sejak dini, seseorang mempelajari peran gender (gender role), yang oleh masyarakat yang sesuai dengan jenis kelaminnya.
            Proses sosialisasi kedalam peran perempuan dan laki-laki sudah berawal semenjak seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir, bayi perempuan sering sudah diberi busana yang jenis dan warnanya berbeda dengan jenis dan warna yang dikenakan bayi laki-laki, dan perbedaan jenis busana dan warnanya semakin mencolok manakala usia mereka bertambah. Perlakuan yang diterimapun sering cenderung berbeda ; oleh orang tua dan kerabat lain bayi laki-laki sering diperlakukan lebih kasar daripada bayi perempuan.
            Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender ialah mainan, yaitu dengan menggunakan mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin (sex-differentiated toys atau gender-typed toys. Lihat Giddens, 1989 & Moore dan Sinclair, 1995). Dengan semakin meningkatnya usia anak, jenis mainan yang diberikan pun semakin mengarah ke peranan gender. Misalnya, anak perempuan diberi mainan peralatan memasak dan menjahit sedangkan anak laki-laki diberi mainan seperti kendaraan bermotor, alat berat, atau senjata.
            Buku cerita kanak-kanak merupakan media lain untuk melakukan sosialisasi gender. Buku-buku demikian sering menonjolkan tokoh laki-laki yang penuh ambisi, sedangkan prempuan yang berstatus sebagai gadis, istri, maupun ibu diberi peran yang lebih pasif.

Kelompok bermain sebagai agen sosialisasi gender
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk perlaku dan sikap kanak-kanak. Dibidang sosialisasi gender pun, dijumpai segregasi menurut jenis kelamin – anak perempuan bermain dengan anak perempuan, dan anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki—merupakan suatu kebiasaan yang cenderung memperkuat identitas gender.
Saat berada dalam kelompok bermain laki-laki seorang anak laki-laki cendeung memainkan jenis permainan yang lebih menekankan pada segi persaingan, kekuatan fisik dan keberanian. Sedangkan dalam kelompok bermain perempuan anak perempuan cenderung memainkan permainan yang lebih menekankan pada segi  kerjasama. Setelah anak-anak berusia remaja dan mulai memperhatikan lawan jenis, mereka pun mulai belajarberbagai teknik untuk menghadapi lawan jenis mereka.
Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain pun menerapkan kontrol sosial bagi anggota yang tidak menaati aturannya. Seorang anak laki – laki yang memilih untuk bermain dengan mainan anak perempuan dan berkumpul dengan mereka, misalnya, cendrung di cap “banci” hal serupa dihadapi anak perempuan yanng berorientasi pada permainan anak laki-laki, yang dapat dicap sebagai “tomboy”.

Sekolah sebagai agen sosialisasi gender
            Sebagai agen sosialisasi gender, sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media utamanya, yaitu kurikulum formal. Misalnya dalam mata pelajaran olahraga siswa mungkin diminta mempelajari jenis olahraga yang berbeda dengan siswi.  Pemisahan yang mengarah ke segregasi menurut jenis kelamin sering terjadi ketika siswa mulai dijuruskan ke bidang ilmu tertentu. Misalnya siswi sering dikelompokkan ke bidang ilmu sosial, sedangkan siswa cenderung dikelompokkan ke bidang ilmu pengetahuan alam.

Media massa sebagai agen sosialisasi gender
            Media massa sangat berperan sebagai agen sosialisasi gender, baik melalui pemberitaannya, kisah fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan yang dipasang. Media massa, baik media cetak maupun elektronik, sering memuat iklan yang menunjang stereotip gender (gender-stereotyped advertising). Iklan yang mempromosikan berbagai produk keperluan rumah tangga seperti pembersih lantai, sabun cuci, minyak goreng, misalnya, cenderung menampilkan perempuan dalam peran sebagai ibu, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang merupakan simbol status dan kesuksesan di bidang pekerjaan cenderung menampilkan model laki-laki.

2.4  Gender dan stratifikasi
Macionis (1996:245-246) mendefinisikan stratifikasi gender sebagai “ the unequal distribution of wealth, power, and privilege between the two sexes” sebagai ketimpangan dalam pembagian kekayaan, kekuasaan, dan privilege antara laki-laki dan perempuan. Menurut Macionis ketimpangan ini dijumpai di berbagai bidang:di dunia kerja, dalam pelaksanaan pekerjaan rumah tangga, pendidikan,dan politik.
Gender dan pendidikan
Dalam berbagai masyarakat maupun kalangan tertentu dalam masyarakat dapat kita jumpai nilai  adat istiadat atau kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan dalam pendidikan formal. ada nilai yang mengemukakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya akan di dapur juga. Ada pula yang berpandangan perempuan menikah di usia muda agar tidak menjadi prawan tua. Atas dasar ilia dan norma demikian ada masyarakat yang mengizinkan anak perempuannya sekolah tetapi hanya sampai pendidikan tertentu saja. Sebagai akibatnya ada ketimpangan dalam angka partisipasi pendidikan formal.
Gender dan pekerjaan
Berbagai penelitian terhadap angka partisipasi perempuan dalam angkatan kerja umumnya terdapat kesenjangan kuantitatif maupun kualitatif dalam pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan.Moore dan Sinclair (1995) mengidentifikasikan ke dua macam segregasi jenis kelamin dalam angkatan kerja yaitu segregasi vertical dan segregasi horizontal. Segregasi vertikal mengacu pada terkonsentrasinya pekerjaan perempuan pada jenjang rendah dalam organisasi,seperti: jabatan pramuniaga, pramusaji, tenaga kebersihan, sekertaris, pengasuh anak, guru taman kanak-kanak,dll. Segregasi horizontal mengacu pada kenyataan bahwa pekerjaan perempuan sering terkonsentrasi di jenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan yang dilakukan pekerjaan laki-laki.
Suatu bentuk diskriminasi yang sering dialami pekerja perempuan ialah diskriminasi terhadap orang hamil. Diskriminasi tersebut dapat berupa penolakan untuk mempekerjakan,pemutusan hubungan kerja, dsb.
Gender dan penghasilan
Dalam banyak masyarakat seorang pekerja apapun jenis kelaminnya,menerima upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. Namun di berbagai masyarakat lain pekerja laki-laki menerima upah yang lebih tinggi di bandingkan perempuan walaupun pekerjaannya sama.dalam struktur okupasi kita menjumpai bidang pekerjaan berstatus rendah yang umumnya hanya dipekerjakan perempuan dan berada di bawah subordinasi pejabat laki-laki,seperti sekertaris,juru tik dan stenograf. Masalah yang dihadapi ini bahwa upah yang mereka dapat terlalu rendah yang mengakibatkan sering terjerat kemiskinan.
Gender dan politik
Hak perempuan untuk memilih dan dipilih. Masih terbatasnya jumlah posisi di dalam ranah public yang berhasil diraih kaum perempuan,seperti di bidang eksekutif,legislative dan yudikatif di tingkat local,regional maupun nasional.
Gender dan keluarga
Dalam banyak rumah tangga kita menemukan ketimpangan antara kekuasaan suami dan istri. Hal ini tidak mengherankan, karena dalam berbagai masyarakat masih banyak dianut pandangan lama bahwa tempat seorang perempuan adalah di rumah dan di belakang suami.
Para ahli telah menggunakan berbagai indikator untuk mengukur pembagian kerja dan kekuasaan suami-istri dalam rumah tangga. Salah satu cara ialah dengan merinci pekerjaan rumah tangga apa saja dilakukan oleh siapa. Menurut Moore dan Sinclair (1995:50), kegiatan yang digunakan sebagai ukuran ialah kegiatan berbelanja, menyiapkan makanan, mencuci dan menyetrika dan memperbaiki peralatan rumah tangga. Cara lain ialah dengan mengkaji siapa yang berwenang mengambil keputusan dalam berbagai masalah yang dihadapi di dalam rumah tangga; Suami atau Istri.


















BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Konsep gender tidak mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Melainkan pada perbedaan psikologis, sosial dan budaya yang dikaitkan masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Gender adalah konsep yang melihat peran laki-laki dan perempuan dari segi sosial dan budaya, tidak dilihat dari jenis kelaminnya. Sedangkan relasi gender mempersoalkan posisi perempuan dan laki-laki dalam pembagian sumber daya dan tanggung jawab, manfaat, hak-hak, dan kekuasaanya.
Dalam sosialisasi gender agen memiliki peran penting yang terdiri atas keluarga, kelompok bermain, sekolah dan media masa. Sedangkan Stratifikasi gender dipandang sebagai ketimpangan dalam pembagian kedudukan di dalam masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan ini dapat dijumpai di berbagai bidang seperti: di dunia kerja, dalam pelaksanaan pekerjaan rumah tangga, pendidikan,dan politik.

                                                                                                 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

analisis program Rabu Nyunda Kota Bandung

I.                    KEBIJAKAN MENGENAI RABU NYUNDA a.        Deskripsi Singkat Tentang Rabu Nyunda Rebo nyunda merupakan hari di man...