BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hal pertama yang biasanya ditanyakan
oleh orang tua saat kelahiran anaknya adalah apakah anaknya itu “laki-laki
ataukah perempuan”. Urgensi pertanyaan tersebut membawa dampak yang sangat
penting, yakni masyarakat membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Pembagian spesies manusia ke dalam dua kategori fundamental
itu didasarkan pada jenis kelamin atau perbedaan biologis. Dalam
perkembangannya, masyarakat membedakannya dengan “maskulinitas” dan
“feminitas”. Konsep-konsep itu tidak merujuk pada jenis kelamin, tetapi pada
gender, perbedaan-perbedaan yang secara kultural dipelajari antara laki-laki
dan perempuan. Masyarakat cenderung mengasumsikan bahwa maskulinitas adalah
bagian dari keadaan alamiah manusia atau takdir, sebagaimana perbedaan biologis
antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat mengharapkan pula agar laki-laki dan
perempuan memainkan peran-peran jender spesifik, yaitu pola-pola perilaku,
kewajiban, yang dianggap pantas untuk masing-masing jenis kelamin. Karena
status sosial dari kedua jenis kelamin itu biasanya tidak sama, peran-peran gender
inipun cenderung mereflelsikan stratifikasi jenis kelamin yang sudah ada.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan
gender?
2.
Bagaimana peran antar gender?
3.
Bagaimana gender dan
sosialisasinya?
4.
Bagaimana gender dan
stratifikasinya?
5.
Bagaimana gender dan kekuasaannya?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Gender
Menurut
definisi (Giddens, 1989:158), konsep gender menyangkut “the psychological, social and cultural differences between males and
females” – perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan
perempuan. Macionis (1996:240) mendefinisikan gender sebagai “the significance a society attaches to
biological categories of female and male” – arti penting yang diberikan
masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan Lasswell
dan Lasswell (1987:51) mendefinisikan gender sebagai “the knowledge and awareness, whether conscious or unconscious, that one
belongs to one sex and not to the other” – pada pengetahuan dan kesadaran,
baik secara sadar ataupun tidak, bahwa diri seseorang tergolong dalam suatu
jenis kelamin tertentu dan bukan dalam jenis kelamin lain.
Kalau
Giddens menekankan pada perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki
dan perempuan, maka ahli lain menekankan pada perbedaan yang dikonstruksikan
secara sosial (Moore dan Sinclair, 1995), perbedaan budaya, perilaku, kegiatan,
sikap (Macionis, 1996), perbedaan perilaku (Horton dan Hunt, 1984:152), atau
pada perbedaan pengetahuan dan kesadaran seseorang (Lasswell dan
Lasswell). Dari berbagai perumusan
tersebut, kita dapat melihat bahwa konsep gender tidak mengacu pada perbedaan
biologis antara perempuan dan laki-laki.
Melainkan pada perbedaan psikologis, sosial dan budaya yang dikaitkan
masyarakat antara laki-laki dan perempuan.
Gender adalah konsep yang
melihat peran laki-laki dan perempuan dari segi sosial dan budaya, tidak
dilihat dari jenis kelaminnya. Sedangkan relasi gender mempersoalkan posisi
perempuan dan laki-laki dalam pembagian sumber daya dan tanggung jawab,
manfaat, hak-hak, dan kekuasaanya.
2.2 Peran Gender
Sebagaimana
telah dibahas dalam point sebelumnya, gender adalah pandangan masyarakat
tentang perbedaan fungsi, peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan
perempuan, sebagai hasil konstruksi sosio-kultural yang tumbuh dan disepakati
oleh masyarakat melalui proses yang panjang serta bisa berubah dari waktu
kewaktu, tempat ke tempat, bahkan dari kelas-kelas sesuai perkembangan zaman.
Peran gender
sendiri diartikan sebagai ide-ide kultural yang menentukan harapan harapan pada
laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi antara satu dengan lainnya dalam
masyarakat (Kessler, 1977 : 73). Berangkat dari pengertian tersebut dapat
dikemukakan bahwa, peran gender akan selalu mengalami perubahan mengikuti
perubahan sosial yang dinamis.Misalnya pada masyarakat tradisional. Pembagian
kerja pada masyarakat ini dilakukan berdasarkan jenis kelamin. Pekerjaan
laki-laki sesuai kapasitasnya sebagai laki-laki, diamana secara umum
dikonsepsikan sebagai orang yang memiliki otot lebih kuat, berani dan mampu
bekerjasama. Sementara pekerjaan perempuan juga di sesuaikan dengan konsepsinya
sebagai makhluk yang lemah, dengan tingkat risiko lebih rendah , lamban dan
lain-lain.
Hal tersebut
senada dengan hasil penelitian George Peter Murdock. Pada masyarakat
tradisional laki-laki konsisten dengan pekerjaan yang bersifat maskulin,
seperti: tukang kayu, membuat kapal, tukang batu, mengerjakan logam menambang
dan menyamak kulit. Sedangkan perempuan lebih konsisten pada pekerjaan feminim,
yaitu: mencari kayu bakar, meramu dan menyediakan minuman dan makanan, mencuci,
mengambil air dan memasak (Sanderson, 2003 : 396).
Akan tetapi
sebagai akibat dari pertumbuhan dan mobilisasi penduduk, urbanisasi dan
revolusi industri yang menimbulkan berbagai perubahan sosial, maka peran dan
posisi laki-laki dan perempuan juga ikut berubah.
·
Misalnya seperti Menjadi pemahat
batu dianggap tidak pantas dilakukan oleh perempuan, tetapi perempuan di batak
sumatera utara biasa menjadi pemahat batu.
·
Di kebanyakan masyarakat petani,
bekerja kebun adalah tugas laki-laki; sedangkan di sejumlah masyarakat Papua,
kerja kebun merupakan tugas utama perempuan, karena berburu adalah tugas utama
laki-laki.
Gender berubah dari waktu ke waktu
karena adanya perkembangan yang mempengaruhi nilai-nilai dan norma-norma
masyarakat tersebut. Misal:
·
Di Jawa Barat, sudah ada perempuan
yang menjadi kepala desa karena meningkatnya pendidikan.
·
Di Sumba, laki-laki membantu-bantu
‘tugas perempuan’ dirumah tangga
2.3 Gender dan Sosialisasi
Sebagaimana dikemukakan
oleh Kerstan (1995), gender tidak bersifat biologis melainkan dikonstruksikan
secara sosial. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui
sosialisasi. Oleh sebab itu, menurutnya, gender dapat berubah. Contoh yang
diberikannya: baik laki-laki maupun perempuan dapat bekerja sebagai guru, buruh
dan insimyur, dan dapat mengasuh anak dan merawat orang usia lanjut. Proses
sosialisasi yang membentuk persepsi diri dan aspirasi semacam ini dalam
sosiaologi dinamakan sosialisasi gender(gender socialization). Sebagaimana
halnya dalam sosialisasi pada umumnya , maka dalam sosialisasi gender agen penting
yang berperan pun terdiri atas keluarga, kelompok bermain, sekolah dan media
masa.
Keluarga sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana
bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka sosialisasi genderpun berawal dari
keluarga. Keluargalah yang mula-mula mengajarkan seorang anak laki-laki untuk
menganut sifat maskulin, dan seorang anak perempuan untuk menganut sifat
feminim. Melalui proses pembelajaran gender (gender learning), yaitu proses
pembelajaran feminitas dan maskulinitas yang berlangsung sejak dini, seseorang
mempelajari peran gender (gender role), yang oleh masyarakat yang sesuai dengan
jenis kelaminnya.
Proses
sosialisasi kedalam peran perempuan dan laki-laki sudah berawal semenjak
seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir, bayi perempuan sering sudah diberi busana
yang jenis dan warnanya berbeda dengan jenis dan warna yang dikenakan bayi
laki-laki, dan perbedaan jenis busana dan warnanya semakin mencolok manakala
usia mereka bertambah. Perlakuan yang diterimapun sering cenderung berbeda ;
oleh orang tua dan kerabat lain bayi laki-laki sering diperlakukan lebih kasar
daripada bayi perempuan.
Salah
satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender ialah
mainan, yaitu dengan menggunakan mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin (sex-differentiated
toys atau gender-typed toys. Lihat Giddens, 1989 & Moore dan Sinclair,
1995). Dengan semakin meningkatnya usia anak, jenis mainan yang diberikan pun
semakin mengarah ke peranan gender. Misalnya, anak perempuan diberi mainan
peralatan memasak dan menjahit sedangkan anak laki-laki diberi mainan seperti
kendaraan bermotor, alat berat, atau senjata.
Buku
cerita kanak-kanak merupakan media lain untuk melakukan sosialisasi gender.
Buku-buku demikian sering menonjolkan tokoh laki-laki yang penuh ambisi,
sedangkan prempuan yang berstatus sebagai gadis, istri, maupun ibu diberi peran
yang lebih pasif.
Kelompok bermain sebagai agen sosialisasi gender
Kelompok bermain
merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk perlaku dan sikap
kanak-kanak. Dibidang sosialisasi gender pun, dijumpai segregasi menurut jenis
kelamin – anak perempuan bermain dengan anak perempuan, dan anak laki-laki
bermain dengan anak laki-laki—merupakan suatu kebiasaan yang cenderung
memperkuat identitas gender.
Saat berada dalam
kelompok bermain laki-laki seorang anak laki-laki cendeung memainkan jenis
permainan yang lebih menekankan pada segi persaingan, kekuatan fisik dan
keberanian. Sedangkan dalam kelompok bermain perempuan anak perempuan cenderung
memainkan permainan yang lebih menekankan pada segi kerjasama. Setelah anak-anak berusia remaja
dan mulai memperhatikan lawan jenis, mereka pun mulai belajarberbagai teknik
untuk menghadapi lawan jenis mereka.
Sebagai agen
sosialisasi, kelompok bermain pun menerapkan kontrol sosial bagi anggota yang
tidak menaati aturannya. Seorang anak laki – laki yang memilih untuk bermain
dengan mainan anak perempuan dan berkumpul dengan mereka, misalnya, cendrung di
cap “banci” hal serupa dihadapi anak perempuan yanng berorientasi pada
permainan anak laki-laki, yang dapat dicap sebagai “tomboy”.
Sekolah sebagai agen sosialisasi gender
Sebagai
agen sosialisasi gender, sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media
utamanya, yaitu kurikulum formal. Misalnya dalam mata pelajaran olahraga siswa
mungkin diminta mempelajari jenis olahraga yang berbeda dengan siswi. Pemisahan yang mengarah ke segregasi menurut
jenis kelamin sering terjadi ketika siswa mulai dijuruskan ke bidang ilmu
tertentu. Misalnya siswi sering dikelompokkan ke bidang ilmu sosial, sedangkan
siswa cenderung dikelompokkan ke bidang ilmu pengetahuan alam.
Media massa sebagai agen sosialisasi gender
Media
massa sangat berperan sebagai agen sosialisasi gender, baik melalui
pemberitaannya, kisah fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan yang dipasang.
Media massa, baik media cetak maupun elektronik, sering memuat iklan yang
menunjang stereotip gender (gender-stereotyped advertising). Iklan yang
mempromosikan berbagai produk keperluan rumah tangga seperti pembersih lantai,
sabun cuci, minyak goreng, misalnya, cenderung menampilkan perempuan dalam
peran sebagai ibu, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang
merupakan simbol status dan kesuksesan di bidang pekerjaan cenderung
menampilkan model laki-laki.
2.4 Gender dan stratifikasi
Macionis (1996:245-246)
mendefinisikan stratifikasi gender sebagai “ the unequal distribution of
wealth, power, and privilege between the two sexes” sebagai ketimpangan dalam
pembagian kekayaan, kekuasaan, dan privilege antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Macionis ketimpangan ini dijumpai di berbagai bidang:di dunia kerja,
dalam pelaksanaan pekerjaan rumah tangga, pendidikan,dan politik.
Gender
dan pendidikan
Dalam berbagai
masyarakat maupun kalangan tertentu dalam masyarakat dapat kita jumpai
nilai adat istiadat atau kebiasaan yang
tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan dalam
pendidikan formal. ada nilai yang mengemukakan bahwa perempuan tidak perlu
sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya akan di dapur juga. Ada pula yang
berpandangan perempuan menikah di usia muda agar tidak menjadi prawan tua. Atas
dasar ilia dan norma demikian ada masyarakat yang mengizinkan anak perempuannya
sekolah tetapi hanya sampai pendidikan tertentu saja. Sebagai akibatnya ada
ketimpangan dalam angka partisipasi pendidikan formal.
Gender
dan pekerjaan
Berbagai penelitian
terhadap angka partisipasi perempuan dalam angkatan kerja umumnya terdapat
kesenjangan kuantitatif maupun kualitatif dalam pembagian kerja antara
laki-laki dan perempuan.Moore dan Sinclair (1995) mengidentifikasikan ke dua
macam segregasi jenis kelamin dalam angkatan kerja yaitu segregasi vertical dan
segregasi horizontal. Segregasi vertikal mengacu pada terkonsentrasinya
pekerjaan perempuan pada jenjang rendah dalam organisasi,seperti: jabatan pramuniaga, pramusaji, tenaga kebersihan,
sekertaris, pengasuh anak, guru taman kanak-kanak,dll. Segregasi
horizontal mengacu pada kenyataan bahwa pekerjaan perempuan sering
terkonsentrasi di jenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan yang
dilakukan pekerjaan laki-laki.
Suatu bentuk
diskriminasi yang sering dialami pekerja perempuan ialah diskriminasi terhadap
orang hamil. Diskriminasi tersebut dapat berupa penolakan untuk
mempekerjakan,pemutusan hubungan kerja, dsb.
Gender
dan penghasilan
Dalam banyak masyarakat
seorang pekerja apapun jenis kelaminnya,menerima upah yang sama untuk pekerjaan
yang sama. Namun di berbagai masyarakat lain pekerja laki-laki menerima upah
yang lebih tinggi di bandingkan perempuan walaupun pekerjaannya sama.dalam
struktur okupasi kita menjumpai bidang pekerjaan berstatus rendah yang umumnya
hanya dipekerjakan perempuan dan berada di bawah subordinasi pejabat
laki-laki,seperti sekertaris,juru tik dan stenograf. Masalah yang dihadapi ini
bahwa upah yang mereka dapat terlalu rendah yang mengakibatkan sering terjerat
kemiskinan.
Gender
dan politik
Hak perempuan untuk
memilih dan dipilih. Masih terbatasnya jumlah posisi di dalam ranah public yang
berhasil diraih kaum perempuan,seperti di bidang eksekutif,legislative dan
yudikatif di tingkat local,regional maupun nasional.
Gender
dan keluarga
Dalam banyak rumah
tangga kita menemukan ketimpangan antara kekuasaan suami dan istri. Hal ini
tidak mengherankan, karena dalam berbagai masyarakat masih banyak dianut
pandangan lama bahwa tempat seorang perempuan adalah di rumah dan di belakang
suami.
Para ahli telah
menggunakan berbagai indikator untuk mengukur pembagian kerja dan kekuasaan
suami-istri dalam rumah tangga. Salah satu cara ialah dengan merinci pekerjaan
rumah tangga apa saja dilakukan oleh siapa. Menurut Moore dan Sinclair
(1995:50), kegiatan yang digunakan sebagai ukuran ialah kegiatan berbelanja,
menyiapkan makanan, mencuci dan menyetrika dan memperbaiki peralatan rumah
tangga. Cara lain ialah dengan mengkaji siapa yang berwenang mengambil
keputusan dalam berbagai masalah yang dihadapi di dalam rumah tangga; Suami
atau Istri.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Konsep gender tidak mengacu
pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Melainkan pada
perbedaan psikologis, sosial dan budaya yang dikaitkan masyarakat antara
laki-laki dan perempuan. Gender adalah konsep yang melihat peran laki-laki dan
perempuan dari segi sosial dan budaya, tidak dilihat dari jenis kelaminnya.
Sedangkan relasi gender mempersoalkan posisi perempuan dan laki-laki dalam
pembagian sumber daya dan tanggung jawab, manfaat, hak-hak, dan kekuasaanya.
Dalam sosialisasi
gender agen memiliki peran penting
yang terdiri atas keluarga,
kelompok bermain, sekolah dan media masa.
Sedangkan Stratifikasi gender dipandang sebagai ketimpangan
dalam pembagian kedudukan di
dalam masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan
ini dapat dijumpai di berbagai
bidang seperti: di dunia kerja, dalam
pelaksanaan pekerjaan rumah tangga, pendidikan,dan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar